Jumat, 24 Desember 2010

Kalau Ingin Perubahan, Tegakkanlah Malam dan Bangunlah Lebih Awal

Seharusnyalah, tidak ada yang begitu mengenaskan bagi kita -aktivis dakwah- kecuali kalau kita dalam tidak sempat menegakkan malam (qiyamullail) dan mengisi awal pagi dengan kegiatan yang membawa perubahan.

***

KAMMI adalah pembawa obor perubahan. Malam itu, tengah tahun 2001, KAMMI mengadakan muhasabah dan qiyamullail. Beratus orang -ikhwan dan akhwat- hadir, diam, menangis dan khusyu'. Ya, ruh kami berkata bahwa reformasi Indonesia harus kami selamatkan. Indonesia berantakan dan fatwa telah jelas tersampaikan. Strategi pun terancang, semuanya terkomunikasikan.

Siang besoknya itu, sang presiden akan datang dan mengunjungi kampus kami. Kami tahu dia akan berbicara omong kosong, sementara ia enggan bertanggung jawab. Maka kami melawan, kami enggan ia datang.

Pagi itu kami bergerak, berbondong dan berduyun, menutup lima jalan masuk ke kampus. Kami tak tahu dari mana ia masuk. Sebagian barisan kami tebal dua tiga lapis, sebagian barisan kami cuma satu baris memanjang, tapi kami tetap bersemangat, ikhwan maupun akhwat.

Muka kami coreng moreng dengan pasta gigi, pertahanan murah meriah untuk gas air mata, lagu-lagu bersemangat terus kami lantunkan, polisi dan panser berdatangan, mereka sedikit kesiangan, terkejut kami di ring satu.

Presiden kan datang sementara kami masih bertahan. Maka air dari water canon pun tersembur menghantam. Polisi menerjang dan membongkar ikhwan dan akhwat, kami tetap bertahan. Barisan ikhwan terbongkar, akhwat bertahan. Polisi-polisi itu mengangkati mereka seperti mengangkat ayam tuk masuk penggorengan. Kami terus saja bertahan dan terus bertahan.

Presiden batal datang, ia sadar penolakan. Kami menang, kampus tetap milik kami, ajang pencerdasan, bukan omong kosong politik. Sang presiden pun tumbang.

Kami menang, karena malamnya kami tegakkan dan paginya kami bergerak sejak awal.

***

KAMMI tetap harus menjadi pembawa obor perubahan. Malam itu, tengah tahun 2002, KAMMI mengadakan rapat aksi. Berpuluh orang -ikhwan dan akhwat- hadir, berbicara, dan berdiskusi strategi. Ya, mulut kami berkata bahwa reformasi Indonesia harus kami selamatkan. Indonesia berantakan, tapi memang tiada fatwa yang jelas tersampaikan. Strategi global pun tak jelas terancang, semuanya tidak pasti terkomunikasikan, dan oh ya, kami tidak sempat adakan acara bangun malam.

Siang besoknya itu, sang presiden mau datang dan mengunjungi kampus kami, kali ini perempuan, tapi kami tahu dia pun akan berbicara omong kosong, sementara ia enggan bertanggung jawab. Maka kami pun tetap melawan. Kami enggan ia datang.

Pagi itu kami bergerak, tapi tak cukup berbondong dan apalagi berduyun menutup dua jalan masuk ke kampus. Kami tahu pasti dari mana ia masuk. Barisan kami tidak tebal, tapi cuma satu dua baris memanjang. Akan tetapi, kami tetap bersemangat, ikhwan maupun akhwat.

Kami tak cukup bersiap, muka kami tiada coreng moreng dengan pasta gigi, lagu-lagu bersemangat kami lantunkan, tetapi sesungguhnya polisi dan panser telah lebih dulu berdatangan. Mereka sedikit pagi datang bahkan sejak malam, kami yang kesiangan. Mereka telah bersiap di ring satu juga ring dua.

Presiden kan datang sementara kami masih ingin bertahan. Tidak ada air yang tersenbur menghambur menghantam, karena kami kesiangan. Polisi tidak menerjang dan tidak pula membongkar, karena kami tidak datang sejak awal, ikhwan dan akhwat. Kami tetap bertahan. Presiden terus berbicara dan beromong kosong di kampus kami. Sementara itu, kami terus saja bertahan hingga sang presiden pulang.

Presiden tetap datang, kami kalah. Kampus ia jajah semena-mena, dan menang tidak lagi milik kami. Kami gagal, ia pun bertahan, bahkan ingin terus tetap menjadi presiden pada pemilu depan.

Kami gagal, karena malamnya kami tidak tegakkan dan paginya kami bangun kesiangan.


[taken from : Mengapa Aku Mencintai KAMMI]

0 komentar:

Posting Komentar