KOTA DUNIA BERKEARIFAN LOKAL*
*Jusman Dalle - Humas KAMMI Daerah Makassar
(http://jusmandalle.cerita.web.id/)
Baru-baru ini, penulis bersama tiga orang kolega sengaja datang dengan niat untuk menikmati eksotisme malam objek wisata terkenal Sulawesi Selatan, kebanggaan Kota Makassar, benteng peninggalan penjajah Hindia Belanda 3 abad silam, Port Rotterdam. Karena malam, kami memilih salah satu café musiman (malam) yang berada tepat di depan Rotterdam.
Sekitar 30 menit kami duduk, seorang anak yang kira-kira usia 12 tahun dengan pakaian seadanya dan rambut nampak kering tak terurus, menghampiri meja tempat kami ‘ngopi’. Sudah bisa di tebak, pasti anak itu minta uang (pengemis). Tak berapa lama, datang lagi, kali ini rombongan terdiri dari tiga orang dan usia hampir sama dengan anak yang datang pertama. Mereka turun dari mobil pick up (bak terbuka), tepat di hadapan kami. Sekitar 10 menit kemudian, rombongan ke tiga kembali muncul dan terdiri dari dua orang, seorang bapak yang sepertinya tidak melihat karena di tuntun oleh anak sembari meminta welas asih di meja kami. Sekitar 40 menit kami di depan Fort Rotterdam, ada 6 orang pengemis.
Tak betah berlama-lama di depan Port Rotterdam, kami kemudian bergeser ke Anjungan Pantai Losari, icon kebanggaan masyarakat Makassar. Karena konon katanya, sunset Pantai Losari adalah sunset terindah di dunia. Walaupun kami yakin, di malam hari tidak mungkin ada sunset. Tapi setidaknya kami bisa menikmati suasana malam di sudut terindah Kota Makassar itu. Namun apa lacur, niat hati ingin mengeksplorasi eksotisme malam Losari, kenyataan tidak berbeda di depan Port Rotterdam. Baru beberapa menit dibawah pohon mini palm dengan tempat duduk melingkar, telah banyak ‘gangguan’ yang berdatangan.
Di kedua tempat yang sering dibangga-banggakan tersebut, setidaknya tergambar realitas sosial masyarakat Makassar, dua potret kehidupan yang tidak jauh berbeda. Bagi kami, yang menjadi masalah bukan minta uangnya, tetapi cara mereka meminta uang, bahkan seorang anak memaksa dengan kasar, menarik-narik baju seorang teman saya yang menjadi ‘korban’. Teman saya pun dibuat geram karenanya.
Visit Makassar 2011?
Berbicara tentang objek wisata, salah satu hal yang sangat fundamen dan menjadi syarat sebuah tempat layak dikatakan objek wisata, ketika tempat tersebut memberikan kenyamanan, sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama. Masih banyaknya gelandangan dan pengemis sangat kontra produktif dengan visi Makassar yang sering di dengung-dengungkan itu, Menuju Kota Dunia.
Program Visit Makassar 2011 dengan tagline Makassar Great Ekspektasion yang merupakan salah satu langkah promosi Makassar Menuju Kota Dunia, akan cacat dan tercederai jika ternyata pemerintah tidak siap. Bahkan justeru bisa menjadi boomerang. Kesan tidak enak saat kunjungan pertama, akan mematikan minat wisatawan untuk datang di kali berikutnya, mungkin mereka juga akan bercerita ke orang lain tentang kesan tidak baik tersebut. Terjadi demarketing.
Visit Makassar 2011 dengan rangkaian promosi dan pembangunan infrastruktur (fisik), telah menghabiskan anggaran APBD yang cukup besar. Untuk APBD tahun 2011 ini saja, pemerintah sudah menganggarkan Rp. 5 Miliar (AntaraNews). Agar tidak sia-sia, maka pemerintah harus melihat kepariwisataan secara komperhensif, bukan saja pada sektor fisik atau infrastruktur, tapi juga pada sektor sosiostruktur. Karena hal ini menyangkut manusia dan budayanya, justru disini pertimbangan seorang wisatawan berkunjung ke Makassar atau tidak. Jika sekedar sunset, benteng kuno, atau kemegahan bangunan, masih banyak daerah lain yang lebih indah. Lantas apa yang mau di Visit (dikunjungi) di Makassar jika di daerah lain pun ada dan dengan suasana lebih nyaman?
Kota Dunia : ‘Modern’ dan Beradab
Menyoal tentang “kota modern”, maka kita harus kembali ke masa lalu, masa dimana asal muasal istilah kota itu muncul dan modernis di zamannya. Istilah kota mulai dikenal di masa peradaban Yunani pada tahun 500 Sebelum Masehi, sebagaimana dikutip dari Nurcholis Majid di dalam bukunya Indonesia Kita. Kota lahir dari lingkungan yang disebut sebagai Oikoumene. Dari Oikoumene tersebut muncullah polis atau Negara kota yang menjadi pusat peradaban manusia. Salah satu dari sekian banyak pusat peradaban –polis- kemudian dijadikan sebagai ibu kota dan disebut metro polis.
Disepanjang bentangan sejarah peradaban Islam, konsep kota juga banyak kita temui, diantaranya di Madinah, Baghdad, dan Kairo. Nama Madinah sendiri berasal dari kata kerja madana-yamdunu, yang berarti mendirikan bangunan. Sebuah kota dengan tempat hunian menetap (settlement), karena peradaban manusia terbentuk dari kehidupan yang menetap. Jadi Madinah memiliki makna yang sama dengan Negara kota atau polis. Polis kemudian berkembang menjadi pengertian tentang bagaimana menyusun tata pergaulan bersama dalam satu kesatuan masyarakat untuk mengembangkan kehidupan beradab melalui ketaatan pada hukum dan aturan.
Menurut Cak Nur (panggilan Almarhum Nurkholis Majid), sebuah kota haruslah berperadaban tinggi dan memiliki ketaatan kepada hukum. Pengertian peradaban sendiri telah di kupas oleh Prof Mulyadhi Kartanagara, Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, medefinisikan peradaban sebagai kebiasaan komunal atau akhlak sosial yang mulia (kariman). Kata peradaban berasal dari bahasa Arab, kata adab yang merupakan mufradat (kata dasar) peradaban berarti kesopanan atau etiket. Maka di dalam agama Islam dikenal etiket berupa aturan-aturan atau adab-adab. Misalnya adab berbicara, adab makan, adab berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan, dan lain-lain.
Oleh Islam, adab atau kesopanan telah dikembangkan di kota-kota besar seperti Baghdad, Isfahan, Damaskus, Cordova, dan beberapa kota lainnya, untuk memebedakan masyarakat muslim dari masyarakat yang sederhana dan terkesan kasar (rude) atau masyarakat pinggiran (rustic). Di dalam sejarah Islam kita juga mendapati, bahwa semakin besar sebuah kota (metropolis) maka semakin tinggi dan halus tingkat keadabannya.
Jika kita refleksikan dalam sejarah, Cordova (Spanyol-Eropa) pada abad pertengahan, menjadi pusat peradaban dunia dengan adab-adab atau kebiasaan yang bercita rasa tinggi. Dimasa pemerintahan Abdurrahman III dari Bani Umayyah, orang-orang miskin menuntut ilmu secara cuma-cuma. Majelis-majelis ilmu hidup di 600 masjid dan 80 sekolah, ada 170 wanita penulis mushaf Al Qur’an dengan huruf khat kufi (seni kaligrafi), padahal penduduk Cordoba hanya 283.000 orang, demikian tulis Dr. Mustafa Siba’i. Padahal saat itu, Inggris Anglo-Saxon merupakan negeri tandus, terisolasi, kumuh, dan liar. London dan Paris dibangun dengan rumah jerami yang tak tahan hujan apalagi badai. Tak dikenal buku apa lagi sekolah. Tak ada kata peradaban, yang ada hanya kegelapan, dari cahaya lampu juga ilmu, demikian gambaran yang dituliskan Lavis dan Rambou di dalam bukunya, Sejarah Umum.
Tak jauh berbeda dengan Cordova, peradaban metropolis Baghdad pada abad pertengahan hingga 11 Masehi, juga sebagai sentrum ilmu pengetahuan. Mengutip dari Prof. Mulyadhi, bahwa pada masa itu, majelis-majelis ilmu bertebaran dibawah asuhan ulama lintas disiplin ilmu dan anggota majelis berasal dari berbagai kalangan dan daerah, bahkan dari non muslim dan Baghdad . Contohnya di dalam majelis Al Farabi, adalah Yahya bin Adi seorang Kristen Jakotibe menjadi murid yang brilian.
Kearifan Lokal
Dari dua definsi, tentang kota dan adab, nampak bahwa ada korelasi yang kuat dan saling menjaga. Adab sebagai penyangga sosial dan ciri khas masyarakat kota, adab kumulatif yang mengkristal menjadi karakter dan mengakar dalam suatu masyarakat. Dari kristalisasi karakter tersebut maka lahirlah produk baru dengan apa yang disebut budaya. Budaya yang direproduksi melalui dinamika kehidupan sosial kemudian menderivasikan nilai-nilai baru berupa local wisdom atau kearifan lokal.
Ditengah gempuran budaya barat (westernisasi), masyarakat Sulsel secara umum, harus mampu mempertahankan kearifan lokal sebagai budaya leluhur yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Kearifan lokal yang bisa menjadi bahan studi karakter bagi wisatawan dunia. Ada beberapa kearifan lokal Bugis-Makassar yang kini mulai langkah di dalam kehidupan kita.
Pertama, siri’ atau rasa malu. Kasus korupsi dan praktek politik transaksional yang hedonistik merupakan instrument jika rasa malu pada diri sebagian pemimpin negeri ini telah menguap. Pada generasi muda, hilangnya siri’ ini kelihatan dari pergaulan yang sangat bebas dan gaya pakaian yang westernis mengumbar aurat. Jika dulu wanita malu kelihatan lututnya, kini terbalik, gadis-gadis abad 21 malu dan dianggap tidak modern jika pakaian yang digunakan menutup lutut.
Kedua, pesse atau rasa sepenanggungan. Rasa sepenanggungan ini lahir dari solidaritas dan persaudaraan atau ukhuwah. Berbeda partai politik tidak harus memecah kehidupan sosial dan menghambat pembangunan. Bahwa semua elemen masyarakat harus melakukan kontruksi moral dan fiisk sebagai komitmen pesse untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang sama-sama di damba.
Ketiga, sipakatau-sipakalebbi’ atau saling memuliakan. Tidak hanya sesama warga lokal atau kepada orang berpangkat, tetapi masyarakat kecil dan wisatwan pun harus dimuliakan. Menggambarkan kemuliaan budaya dari sikap memuliakan.
Keempat, sipakainge’ atau saling mengingatkan. Dalam konteks modern bisa kita maknai sebagai demokratisasi. Memberi kritik dan saran jika ada yang salah, dan meluruskan jika melenceng.
Kelima, sipatokkong’ atau saling menguatkan. Bahwa kebersamaan jauh lebih menguatkan dibanding perseteruan yang saling melemahkan. Perbedaan merupakan anugerah sosial yang jika dikelola dan diharmonsasi akan menambah keindahan bermasyarakat dan salin merekatkan.
Dari uraian diatas, kita bisa menarik satu konklusi bahwa syarat suatu daerah disebut kota jika memiliki peradaban dengan cita rasa yang tinggi dan budi yang halus serta tingkat intelektualitas dan spiritualitas yang mencerahkan. Juga dengan adanya kearifan lokal yang menjadi cirri khas kota tersebut. Jadi tidak sekedar pada aspek infrastruktur atau fisik yang bersifat material semata. Mari membangun Makassar dan Sulawesi Selatan dengan adab, menjadi kota berperadaban!